POSISI polisi lagi-lagi disorot publik. Kali ini disebabkan akhir-akhir ini polisi menjadi target kekerasan bersenjata. Sebagian orang membaca kekerasan terhadap polisi yang makin kentara dan nekat sebagai metamorfosis terorisme, dari yang tadinya target massal menjadi target selektif. Sebagian lagi menganggap kepolisian tidak siap baik mental maupun peralatan untuk menandingi kecanggihan penjahat.
Namun, satu hal tidak terbantahkan ialah kekerasan terhadap polisi merupakan bukti merosotnya wibawa kepolisian di mata publik, terutama dalam fungsinya sebagai penegak hukum.
Berkaitan dengan penegakan hukum, polisi seperti ada tapi tiada. Polisi tampak sigap dan cekatan untuk kasus tertentu, tetapi loyo bahkan tiarap untuk kasus yang lain.
Menjadi pertanyaan besar, di mana Kapolri Jenderal Timur Pradopo di tengah ingar-bingar kasus-kasus besar yang menarik minat publik? Jangankan menguak kasus pidana besar, dalam berbagai aksi kekerasan yang menyebabkan kematian aparat kepolisian pun, Kapolri seperti lebih suka berdiri di balik layar.
Bayangkan, dalam lima bulan terakhir, setidaknya sudah lima anggota kepolisian tewas ditembak pelaku kejahatan. Satu orang di Bekasi awal bulan ini, tiga aparat di Palu pada Mei lalu, dan satu lagi di Bogor, Januari silam.
Begitu pula dalam kasus korupsi pembangunan wisma atlet di Palembang yang melibatkan pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga serta politikus Partai Demokrat, polisi tampak adem ayem.
Namun, yang paling konyol tentu saja kasus pidana yang melibatkan Andi Nurpati, juga politikus asal partai berkuasa, Partai Demokrat. Laporan Mahkamah Konstitusi tentang kasus dugaan penggelapan dan pemalsuan dokumen negara oleh Andi Nurpati ketika menjadi anggota KPU pada 12 Februari 2010 hingga kini didiamkan pihak kepolisian.
Konyol karena yang melaporkan kasus itu bukan lembaga ecek-ecek, melainkan lembaga negara yang punya kredibilitas. Argumen polisi yang menyebutkan kasus itu sedang didalami jelas hanya membuat lembaga itu kian menampakkan wajah ganda ketika bersinggungan dengan kepentingan kekuasaan.
Itu pula yang membuat wibawa kepolisian terus merosot karena tersandera oleh berbagai kepentingan politik dan kekuasaan.
Gus Dur pernah menyebutkan hanya ada tiga polisi jujur di negeri ini, yakni polisi tidur, patung polisi, dan polisi Hoegeng (mantan Kapolri). Atau jangan-jangan sekarang hanya dua model polisi yang dibutuhkan Republik ini. Pertama model Briptu Norman yang tugasnya menghibur atau model presenter cantik Briptu Eka Frestya yang memandu info lalu lintas di televisi.
Sesungguhnya, publik membutuhkan dan merindukan sosok polisi tangguh. Polisi yang berani tampil sebagai pembela kebenaran dan keadilan, bukan pembela baik kepentingan politik maupun kepentingan kekuasaan.
Karena itu, sebagai ujung tombak dalam setiap proses penegakan hukum, polisi tidak boleh tiarap, tapi harus berdiri tegak. (red/*mi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar