DI Republik ini, muslihat seperti sudah menjadi makanan sehari-hari. Apalagi bagi mereka yang diduga menilap uang rakyat, bahkan yang sudah divonis sebagai koruptor, akal bulus menjadi jalan keluar paling nyaman.
Celakanya, hukum beserta aparatusnya tidak berdaya menghentikan perilaku culas itu. Hukum sering kalah cepat dan kalah gesit beberapa langkah daripada para pelaku muslihat busuk tersebut.
Itu pula yang terjadi ketika mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin diam-diam pergi ke Singapura pada Senin (23/5) lalu. Padahal, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah membuat agenda untuk memeriksanya pekan depan. Nazaruddin pergi ke 'Negeri Singa' itu satu hari lebih cepat ketimbang surat cekal untuknya yang baru keluar pada 24 Mei 2011.
Untuk ketiga kalinya, Nazaruddin membuat heboh seantero negeri. Kehebohan pertama terkait dengan dugaan keterlibatannya dalam kasus wisma atlet untuk SEA Games, Palembang.
Ketika kasus itu belum terang benar duduk perkaranya, muncul kasus baru pemberian uang dalam dua amplop 'persahabatan' oleh Nazaruddin kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M Gaffar.
Kini, ketika kasus tersebut hendak diselisik oleh KPK, anggota Komisi VII DPR itu sudah pergi ke negeri tetangga. Lalu, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar pun dengan nada kecut mengumumkan kaburnya sang mantan bendahara partai pemerintah itu.
Kepergian Nazaruddin ke negeri jiran itu menambah panjang daftar para pelaku atau terduga pelaku korupsi yang kabur sebelum cekal tiba. Pada Maret tahun lalu, aksi serupa dilakukan tersangka kasus mafia pajak Gayus Tambunan.
Lima tahun lalu, aksi kabur sebelum cekal dilakukan bos Texmaco Marimutu Sinivasan. Sinivasan pergi ke Singapura pada 15 Maret 2006, sedangkan surat cekal baru turun dua hari kemudian pada 17 Maret.
Kisah hampir serupa terjadi dalam kasus Joko Tjandra, juga Anggoro Widjojo. Umumnya mereka pergi ke Singapura karena tidak ada perjanjian ekstradisi negara itu dengan Indonesia. Dengan pergi ke 'Negeri Singa' hiruk-pikuk pun sirna.
Rupa-rupa alasan bisa dibuat untuk kabur ke luar negeri. Umumnya, mereka ingin berobat, untuk sebuah alasan sakit yang datang tiba-tiba.
Akal waras kita bertanya-tanya sebodoh itukah aparat hukum di negeri ini sehingga muslihat kabur sebelum cekal terus-menerus terjadi? Akal sehat kita justru lebih bisa menerima analisis bahwa jangan-jangan ada mafia di balik drama kabur dulu sebelum cekal.
Selama para koruptor leluasa mengangkangi hukum, kepercayaan publik terhadap tegaknya hukum dan keadilan yang sudah terseok-seok bakal jatuh ke titik nadir. Kalau perkara ini tidak dibereskan, kita sangat risau frustrasi sosial akan memuncak dan hukum jalanan menjadi pilihan.
Jika itu yang terjadi, alih-alih menjadi negeri yang kian beradab, Republik ini bakal menuju bangsa barbar. (red/*mi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar