Minggu, 04 September 2011

Memaknai Idul Fitri

SEUSAI berpuasa selama satu bulan penuh dalam suasana Ramadhan yang penuh berkah, akhirnya umat Islam di seluruh dunia menyambut Hari Raya Idul Fitri.

Perayaan Idul Fitri seperti lazimnya perayaan sebuah pencapaian besar, dirayakan secara meriah dan masif. Perasaan suka cita, kegembiraan, dan kemenangan yang mendominasi perayaan hari ini menjadi klimaks dari perjuangan menahan diri secara fisik, mental, jiwa raga, lahir maupun batin yang dilakukan selama Ramadhan.

Idul Fitri pun kemudian dimaknai sebagai hari kemenangan. Kemenangan terhadap hawa nafsu, kemenangan terhadap kekufuran, dan kemenangan terhadap kekerdilan, serta kemenangan terhadap segala sesuatu yang berkonotasi negatif.

Spirit Idul Fitri, karena itu adalah spirit yang dipenuhi energi positif. Setelah sebulan penuh berjuang dan lulus dari ujian berat Ramadhan dengan menyingkirkan dan mengalahkan segenap energi negatif, memasuki Idul Fitri energi umat Islam dipenuhi dengan muatan yang serba positif.

Mereka yang lulus dalam ujian Ramadhan pun dipersepsikan sebagai pribadi yang telah berhasil mencapai kualitas tertinggi dalam derajat ketakwaan dengan kembali ke fitrah, kembali kepada kesucian dan kedamaian.

Karena itu, Idul Fitri juga menjadi titik awal untuk meneruskan dan mengimplementasikan makna dari kata syawal, yaitu berarti peningkatan. Artinya, sebagai akhir Ramadhan, syawal semestinya juga benar-benar dimaknai sebagai momentum perubahan ke arah lebih positif di segala bidang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Nilai-nilai puasa Ramadhan yang selama satu bulan ditanamkan dan berhasil diraih, semestinya dapat diterapkan ke dalam 11 bulan lainnya. Puasa yang bermakna menahan diri dari segala hawa nafsu juga hendaknya juga dapat dimanifestasikan dalam perilaku yang lebih bersih, lebih baik, dan lebih beradab.

Perilaku rakus, destruktif, malas, korup, tidak jujur, tidak disiplin, dan tidak bertanggung jawab yang selama ini masih menjadi fenomena paling sulit diberantas di negeri ini, semestinya akan jauh lebih berkurang dalam 11 bulan mendatang.

Idul Fitri adalah juga momentum untuk meningkatkan hubungan horisontal antarsesama. Ia harus menjadi kesempatan bagi peningkatan kohesivitas dan solidaritas sosial. Silaturahmi, saling memaafkan harus dilakukan secara tulus, patut, dan pantas. Artinya, saling memaafkan menjadi sebuah keharusan. Namun, ia tidak boleh meniadakan hukum positif yang berlaku di negeri ini.

Kesalahan harus diusut, hukuman harus diberikan kepada yang terbukti bersalah, kebenaran dan keadilan harus tetap ditegakkan. Karena, bila pelanggaran hukum dibiarkan, ia akan dianggap sebagai kebenaran.

Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1432 Hijriah. Mohon maaf lahir dan batin. (cok/mi)

Rabu, 13 Juli 2011

Market Narkoba Merambah ke Balik Jeruji

BADAN Narkotika Nasional (BNN) kian tajam fokus memburu bandar narkotika ke penjara. Bukan lagi rahasia, bui atau resminya lembaga pemasyarakatan (LP) telah berubah menjadi sarang jaringan narkotika. Sudah banyak contoh tentang itu. BNN telah mengungkap adanya jaringan narkotika yang beroperasi di balik jeruji besi, mulai LP Nusakambangan, Cilacap, Jateng, hingga LP Kerobokan, Denpasar, Bali.

Tepat pada Sabtu (25/6) lalu, BNN menggerebek LP Kerobokan untuk memeriksa seorang napi yang diduga termasuk jaringan peredaran narkotika. BNN bekerja cepat 24 jam sehingga harus masuk ke LP Kerobokan pada dini hari. Mereka mengantisipasi kerja mafia yang lihai dan cepat menghapus jejak. Namun, napi LP Kerobokan melawan. Mereka menolak BNN membawa napi yang diduga anggota jaringan narkotika itu keluar LP. Kerusuhan pun terjadi. Tembok dijebol dan kaca-kaca jendela hancur. Kepala LP Kerobokan Siswanto pun luka-luka.

Amat mengherankan napi menolak. Di mana pun di dunia ini, napi harus tunduk kepada aturan LP. Bukan sebaliknya, LP mengikuti kehendak napi. Bisa saja kerusuhan meletus karena selama ini LP memang suka mengikuti kehendak napi dan sekarang BNN mengabaikannya. Sesungguhnya kita geram karena LP masih saja dijadikan pusat pengendalian peredaran narkotika oleh para bandar. Kita geram karena penjara yang mestinya menanggalkan sejumlah hak seseorang akibat tindak pidana yang dilakukannya ternyata tetap memberikan privilese.

Kemewahan yang diperoleh para bandar di dalam bui tentu saja disebabkan main mata dengan petugas LP. Akibatnya, yang seharusnya sangat mudah menjadi sangat sulit mendeteksi peredaran atau jaringan mafia narkotika di dalam penjara.

Salah satu keistimewaan yang sudah lumrah di LP ialah napi bisa memiliki telepon seluler. Melalui alat itu mereka leluasa mengendalikan bisnis halal dan haram dari dalam bui. Jadi, bui bukan lagi penjara dalam pengertian sesungguhnya, melainkan berganti makna menjadi kantor, hotel, atau pusat bisnis, termasuk bisnis narkotika.

Uang telah membeli hukum. Itu bukan rumor atau isapan jempol. Kepala LP Nusakambangan Marwan Adli diduga menerima dana dari jaringan narkotika melalui rekening anak dan cucunya. Adli dan sejumlah petugas LP Nusakambangan telah menjadi tersangka. Ketika LP menjadi pusat jaringan peredaran narkotika, itu menunjukkan betapa lemahnya pengawasan. Mengubah wajah LP menjadi lebih manusiawi boleh-boleh saja. Namun, bukan dengan alasan itu lalu juga membolehkan LP menjadi pusat jaringan peredaran narkotika.

BNN dan Kementerian Hukum dan HAM baru saja meneken kerja sama. Salah satu isinya ialah menempatkan petugas Kemenkum dan HAM di BNN untuk mengurangi resistensi ketika BNN bergegas masuk ke LP.

Kehadiran petugas Kemenkum dan HAM di BNN harus mengikuti irama BNN. Jangan sampai kerja BNN justru disandera karena petugas Kemenkum dan HAM masih membawa virus birokrasi yang lamban. (red/mi)

Selasa, 14 Juni 2011

Anjloknya Pamor Polisi

POSISI polisi lagi-lagi disorot publik. Kali ini disebabkan akhir-akhir ini polisi menjadi target kekerasan bersenjata. Sebagian orang membaca kekerasan terhadap polisi yang makin kentara dan nekat sebagai metamorfosis terorisme, dari yang tadinya target massal menjadi target selektif. Sebagian lagi menganggap kepolisian tidak siap baik mental maupun peralatan untuk menandingi kecanggihan penjahat.

Namun, satu hal tidak terbantahkan ialah kekerasan terhadap polisi merupakan bukti merosotnya wibawa kepolisian di mata publik, terutama dalam fungsinya sebagai penegak hukum.

Berkaitan dengan penegakan hukum, polisi seperti ada tapi tiada. Polisi tampak sigap dan cekatan untuk kasus tertentu, tetapi loyo bahkan tiarap untuk kasus yang lain.

Menjadi pertanyaan besar, di mana Kapolri Jenderal Timur Pradopo di tengah ingar-bingar kasus-kasus besar yang menarik minat publik? Jangankan menguak kasus pidana besar, dalam berbagai aksi kekerasan yang menyebabkan kematian aparat kepolisian pun, Kapolri seperti lebih suka berdiri di balik layar.

Bayangkan, dalam lima bulan terakhir, setidaknya sudah lima anggota kepolisian tewas ditembak pelaku kejahatan. Satu orang di Bekasi awal bulan ini, tiga aparat di Palu pada Mei lalu, dan satu lagi di Bogor, Januari silam.

Begitu pula dalam kasus korupsi pembangunan wisma atlet di Palembang yang melibatkan pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga serta politikus Partai Demokrat, polisi tampak adem ayem.

Namun, yang paling konyol tentu saja kasus pidana yang melibatkan Andi Nurpati, juga politikus asal partai berkuasa, Partai Demokrat. Laporan Mahkamah Konstitusi tentang kasus dugaan penggelapan dan pemalsuan dokumen negara oleh Andi Nurpati ketika menjadi anggota KPU pada 12 Februari 2010 hingga kini didiamkan pihak kepolisian.

Konyol karena yang melaporkan kasus itu bukan lembaga ecek-ecek, melainkan lembaga negara yang punya kredibilitas. Argumen polisi yang menyebutkan kasus itu sedang didalami jelas hanya membuat lembaga itu kian menampakkan wajah ganda ketika bersinggungan dengan kepentingan kekuasaan.

Itu pula yang membuat wibawa kepolisian terus merosot karena tersandera oleh berbagai kepentingan politik dan kekuasaan.

Gus Dur pernah menyebutkan hanya ada tiga polisi jujur di negeri ini, yakni polisi tidur, patung polisi, dan polisi Hoegeng (mantan Kapolri). Atau jangan-jangan sekarang hanya dua model polisi yang dibutuhkan Republik ini. Pertama model Briptu Norman yang tugasnya menghibur atau model presenter cantik Briptu Eka Frestya yang memandu info lalu lintas di televisi.

Sesungguhnya, publik membutuhkan dan merindukan sosok polisi tangguh. Polisi yang berani tampil sebagai pembela kebenaran dan keadilan, bukan pembela baik kepentingan politik maupun kepentingan kekuasaan.

Karena itu, sebagai ujung tombak dalam setiap proses penegakan hukum, polisi tidak boleh tiarap, tapi harus berdiri tegak. (red/*mi)

Sabtu, 28 Mei 2011

Sudah Jadi Tradisi Kabur Dulu Cekal Kemudian

DI Republik ini, muslihat seperti sudah menjadi makanan sehari-hari. Apalagi bagi mereka yang diduga menilap uang rakyat, bahkan yang sudah divonis sebagai koruptor, akal bulus menjadi jalan keluar paling nyaman.

Celakanya, hukum beserta aparatusnya tidak berdaya menghentikan perilaku culas itu. Hukum sering kalah cepat dan kalah gesit beberapa langkah daripada para pelaku muslihat busuk tersebut.

Itu pula yang terjadi ketika mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin diam-diam pergi ke Singapura pada Senin (23/5) lalu. Padahal, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah membuat agenda untuk memeriksanya pekan depan. Nazaruddin pergi ke 'Negeri Singa' itu satu hari lebih cepat ketimbang surat cekal untuknya yang baru keluar pada 24 Mei 2011.

Untuk ketiga kalinya, Nazaruddin membuat heboh seantero negeri. Kehebohan pertama terkait dengan dugaan keterlibatannya dalam kasus wisma atlet untuk SEA Games, Palembang.

Ketika kasus itu belum terang benar duduk perkaranya, muncul kasus baru pemberian uang dalam dua amplop 'persahabatan' oleh Nazaruddin kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M Gaffar.

Kini, ketika kasus tersebut hendak diselisik oleh KPK, anggota Komisi VII DPR itu sudah pergi ke negeri tetangga. Lalu, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar pun dengan nada kecut mengumumkan kaburnya sang mantan bendahara partai pemerintah itu.

Kepergian Nazaruddin ke negeri jiran itu menambah panjang daftar para pelaku atau terduga pelaku korupsi yang kabur sebelum cekal tiba. Pada Maret tahun lalu, aksi serupa dilakukan tersangka kasus mafia pajak Gayus Tambunan.

Lima tahun lalu, aksi kabur sebelum cekal dilakukan bos Texmaco Marimutu Sinivasan. Sinivasan pergi ke Singapura pada 15 Maret 2006, sedangkan surat cekal baru turun dua hari kemudian pada 17 Maret.

Kisah hampir serupa terjadi dalam kasus Joko Tjandra, juga Anggoro Widjojo. Umumnya mereka pergi ke Singapura karena tidak ada perjanjian ekstradisi negara itu dengan Indonesia. Dengan pergi ke 'Negeri Singa' hiruk-pikuk pun sirna.

Rupa-rupa alasan bisa dibuat untuk kabur ke luar negeri. Umumnya, mereka ingin berobat, untuk sebuah alasan sakit yang datang tiba-tiba.

Akal waras kita bertanya-tanya sebodoh itukah aparat hukum di negeri ini sehingga muslihat kabur sebelum cekal terus-menerus terjadi? Akal sehat kita justru lebih bisa menerima analisis bahwa jangan-jangan ada mafia di balik drama kabur dulu sebelum cekal.

Selama para koruptor leluasa mengangkangi hukum, kepercayaan publik terhadap tegaknya hukum dan keadilan yang sudah terseok-seok bakal jatuh ke titik nadir. Kalau perkara ini tidak dibereskan, kita sangat risau frustrasi sosial akan memuncak dan hukum jalanan menjadi pilihan.

Jika itu yang terjadi, alih-alih menjadi negeri yang kian beradab, Republik ini bakal menuju bangsa barbar. (red/*mi)

Kamis, 28 April 2011

Apresiasi untuk Polri Bongkar Pelaku Bom

POLISI kembali menunjukkan kehebatannya membongkar pelaku teror bom. Karena itu, kita layak memberikan apresiasi yang tinggi kepada Polri.

Polri berhasil mengungkap pelaku bom bunuh diri di Kantor Polresta Cirebon sebagai Muhammad Syarif. Polri kemudian menangkap 19 tersangka pelaku teror bom buku.

Polri berkesimpulan motif Syarif sekadar balas dendam atas proses hukum oleh Polresta Cirebon terhadap pelaku dan kelompoknya yang merusak toko swalayan yang menjual minuman keras. Namun, polisi terus mengembangkan penyelidikan untuk memastikan apakah Syarif terkait dengan organisasi teroris tertentu.

Meski baru dapat mengungkap kasus teror buku sebulan kemudian, dari penangkapan para tersangka, Polri berhasil mencegah teror bom yang jauh lebih dahsyat lagi.

Polri berhasil mengorek informasi dari para tersangka bahwa jaringan mereka telah meletakkan rangkaian bom di kawasan Serpong, Tangerang, Banten. Polri berhasil menemukan bom Serpong tersebut dan menjinakkannya. Teror bom Serpong itu terdiri dari delapan paket bom yang beratnya mencapai 150 kilogram dengan teknologi peledakan yang canggih.

Menurut polisi, bom itu akan diledakkan dengan sistem timer. Jika sistem timer gagal, bom akan diledakkan melalui telepon seluler.

Tidak hanya itu. Delapan bom itu dipasang di gorong-gorong dekat pipa gas yang hanya sekitar 100 meter dari Gereja Christ Chatedral. Paket bom itu akan diledakkan pada perayaan Paskah 22 April 2011.

Itulah sebabnya Presiden Yudhoyono menggelar rapat mendadak. Dalam rapat tersebut, Presiden menginstruksikan penerapan siaga satu di seluruh Tanah Air.

Keberhasilan polisi mengungkap bom bunuh diri di Polresta Cirebon, teror bom buku, serta ketangkasan membongkar bom Serpong tentu dapat memulihkan rasa aman publik yang sebelumnya terusik. Buktinya, setelah Polri menjinakkan paket bom di Serpong, Tangerang, jemaat Gereja Christ Chatedral tetap berbondong-bondong menghadiri misa Jumat Agung.

Namun, masih ada pekerjaan rumah polisi yang belum selesai. Polisi, misalnya, masih harus mengungkap kasus pelemparan bom molotov di Kantor Majalah Tempo dan kasus penganiayaan aktivis Indonesia Corruption Watch Tama Satrya Langkun.

Keberhasilan mengungkap dua kasus itu penting untuk lebih menghabisi jejaring pelaku teror bom yang harus diasumsikan belum punah. (dya/*mi)

Rabu, 13 April 2011

Kebobrokan Moral Wakil Rakyat

BELUM lama ini, parlemen di negeri sempat heboh. Uniknya kehebohan itu bukan karena pembahasan undang-undang atau masalah sosial yang berkaitan dengan rakyat. Namun kelakuan jorok salah satu anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Keadilan Sosial (PKS) terekam oleh juranis foto salah satu photographer media massa terkemuka di Jakarta.

Kelakuan jorok itu terjadi Jumat (8/4) lalu, di forum terhormat, di sidang paripurna yang membahas materi sangat penting, yaitu pembangunan gedung baru DPR yang ditentang publik.

Eh, malah ada Anggota DPR itu adalah Arifinto dari Partai Keadilan Sejahtera, yang berasal dari daerah pemilihan Jawa Barat VII ketangkap basah bagaimana jari tangan Arifinto dengan sengaja memilih video porno di komputer tablet yang dibawanya ke ruang sidang dan menikmatinya sejak pukul 11.39.23 hingga pukul 11.41.57 WIB.

Sang Photographer sempat mengabadikan tindakan konyol wakil rakyat tersebut hingga 60 frame visual. Sebuah jumlah yang lebih dari cukup untuk membuktikan secara faktual bahwa tidak benar anggota DPR itu membuka komputer tabletnya karena ada surat elektronik yang masuk, sebagaimana kilahnya, dan pula tidak benar ia menontonnya hanya beberapa detik, tak sampai setengah menit, seperti katanya.

Sebagian dari foto jurnalistik itu telah dipublikasikan sejumlah media massa baik online, cetak, maupun televise. Namun tentunya dengan sengaja mengaburkan bagian gambar yang porno. Hal itu bertujuan menghormati keadaban publik dan mematuhi Undang-Undang Pornografi.

Semua itu perlu ditegaskan kembali melalui untuk menggaris bawahi betapa telah terjadi kebobrokan moral anggota DPR. Bukan sembarang kebobrokan moral karena yang menonton video porno itu adalah anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, partai yang berbasiskan nilai-nilai agama dan yang paling gigih memperjuangkan lahirnya Undang-Undang Pornografi.

Kelakuan jorok anggota DPR itu bukan hanya menunjukkan moral susila yang rusak, melainkan juga moral politik. DPR sedang bersidang paripurna menyangkut pembangunan gedung DPR yang akan menelan Rp1 triliun lebih, eh, si anggota DPR tidak peduli, malah asyik menikmati pornografi dengan hasrat libido yang tentunya mulai panas.

Ironisnya, mantan anggota DPR Permadi juga bersuara, bahwa kebobrokan mental para wakil rakyat itu bukan hal baru. Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa segelintir oknum anggota DPR ada yang berbuat tak senonoh dengan para sekretarisnya.

Bahkan isu yang menyatakan petugas cleaning service kerap menemukan kondom di kamar mandi maupun ruangan kerja itu bukan dongeng semata. Bahkan tak sedikit para mucikari mendatangi ruangan anggota DPR menawarkan jasa anak buah-nya dengan dalil berbagai macam modus.

Kasus itu tentunya bakal menambah panjang daftar dekadensi anggota DPR. Bukankah banyak anggota DPR yang masuk penjara karena korupsi? Bukankah amat banyak anggota DPR yang gemar mangkir bersidang? Bukankah banyak keputusan DPR produk transaksional? Bukankah hasil studi banding omong kosong? Bahkan, ada studi banding yang diselingi menonton tari perut. Sekarang ditambah menonton video porno di sidang paripurna.

Semua itu jelas bukti DPR mengalami kebobrokan moral yang menggerus kepercayaan publik. Bahkan, tidak berlebihan untuk mengatakan sesungguhnya telah terjadi kebobrokan kepercayaan dan kebobrokan legitimasi terhadap DPR. Tiga kebobrokan yang fundamental. Lalu dengan dasar apa DPR masih layak memutuskan kebijakan publik atas nama rakyat?

DPR sekarang lebih banyak mudaratnya daripada maslahatnya. Oleh karena itu, sebaiknya DPR berhenti bersidang. Sebaiknya reses dilanjutkan saja sampai masa kerja berakhir pada 2014, sampai dilahirkan DPR yang baru hasil pemilu mendatang.

Anggaplah DPR yang sekarang ini koma, pingsan berat, akibat keracunan bermacam-macam kelakuan jorok. Kiranya untuk sementara negara ini lebih baik berjalan tanpa DPR yang dekaden itu. (jek/*mi)
Related Posts with Thumbnails