MOMENTUM dan komunikasi adalah dua hal yang tidak boleh kita pandang remeh. Keduanya teramat berbahaya untuk diletakkan di sudut sempit dan waktu yang terbatas.
Kisruh di seputar keistimewaan Yogyakarta yang dipicu pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal monarki yang bertabrakan dengan konstitusi dan nilai-nilai demokrasi memberi pelajaran nyata betapa mahapentingnya momentum dan komunikasi.
Presiden Yudhoyono memilih mengungkapkan soal keistimewaan Yogyakarta yang disandingkan dengan kata 'monarki' itu pada 26 November lalu, di depan sidang kabinet, di tengah masyarakat Yogyakarta yang belum sembuh dari luka akibat bencana Merapi.
Karena disampaikan dalam sidang kabinet yang membahas banyak hal, penjelasan soal keistimewaan Yogyakarta pun hanya memperoleh ruang yang amat terbatas. Padahal, beberapa kata tidak cukup bisa menjelaskan soal keistimewaan Yogyakarta yang amat luas dan kompleks.
Maka, ketika momentum yang salah itu berjalin dengan komunikasi yang tidak tuntas, muncullah keresahan, kemarahan, bahkan perlawanan. Celakanya, tidak ada respons yang cepat dari Presiden untuk menjernihkan persoalan. Butuh waktu satu minggu untuk menjelaskan.
Dalam sepekan terakhir, tensi masyarakat Yogyakarta dibiarkan mendidih dengan eskalasi yang kian memuncak. Spanduk, stiker, dan posko-posko referendum yang mendesak agar Sri Sultan HB X dan Paku Alam IX ditetapkan sebagai Gubernur-Wakil Gubernur DIY pun muncul di mana-mana.
Ketika situasi mendidih itu, Presiden tampil menjelaskan semuanya. Sebagai kepala negara, Yudhoyono setuju penetapan Sultan-Paku Alam sebagai gubernur-wakil gubernur untuk lima tahun mendatang.
Ia juga setuju untuk menyerahkan pengaturan dan pembicaraan suksesi kepemimpinan di Yogyakarta kepada Sultan dan kerabatnya. Itu merupakan bagian dari 'koreksi' atas 'kekeliruan' memilih momentum dan cara berkomunikasi sebelumnya.
Padahal, ketika kesempatan menjelaskan soal keistimewaan diberikan secara luas, kisruh tidak akan terjadi. Meski masih banyak yang menilai penjelasan Presiden kemarin berputar-putar, setidaknya substansi yang disampaikan jauh lebih baik daripada pernyataan sebelumnya.
Karena itu, ke depan, lingkaran Istana harus mampu merumuskan bagaimana supaya pemimpin negara tidak begitu gampang menyampaikan sesuatu dengan waktu dan cara yang salah. Apalagi bila hal yang disampaikan itu mengandung sensitivitas yang tinggi di mata publik.
Sebuah persoalan yang kompleks tidak bisa dijelaskan dengan waktu yang singkat dan sepotong-sepotong. Ketika SBY menjelaskan dengan alokasi waktu yang cukup dan fokus, walaupun untuk sebagian rakyat Yogya dianggap belum menenangkan, persoalan menjadi lebih jelas.
Adalah tidak elok bila Presiden terlalu sering dipaksa melakukan klarifikasi atas kontroversi pernyataannya yang disalahtafsirkan. Kalau terlalu banyak khalayak salah tafsir pernyataan pemimpinnya, tidak salah juga bila sang pemimpin memperbaiki komunikasi politiknya, terutama soal ruang dan momentum. (kos/*mi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar