SANGATLAH memprihatinkan, ketika warganya terancam abu vulkanik dari letusan Gunung Merapi yang eskalatif pada pekan lalu, masih ada juga kepala daerah dan pejabat tinggi negara yang tidak bersikap memilih prioritas. Kunjungan kerja ke luar daerah dan ke luar negeri tetap diteruskan sesuai agenda. Pernyataan yang bersubstansi
“Masalah Merapi memang penting, tetapi itu bukan segala-galanya karena masih banyak persoalan lain” tentu sangat tidak tepat dari sisi hati nurani: simpati, empati, dan rasa sepenanggungan.
Pentingnya para pemimpin terlibat ke dalam kondisi-kondisi tertentu yang dihadapi oleh rakyatnya. Juga bagaimana simpati atau empati itu bisa terekspresikan dengan kemampuan mengemas pernyataan yang tidak menimbulkan singgungan-singgungan yang malah menerbitkan luka. Inilah pentingnya prioritas, karena kesadaran adanya realitas yang membutuhkan “kehadiran” dan kebersamaan.
Maka kita menyambut baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang turun langsung mengawal penanganan di seputar letusan Gunung Merapi, dengan “berkantor” di Yogyakarta. Kiranya tidak ada pilihan sikap yang lebih baik dari itu, ketika Merapi belum menunjukkan tanda-tanda penurunan aktivitas, sedangkan kompleksitas penanganan pengungsian dan keselamatan lebih dari 100 ribu warga jelas membutuhkan keserentakan langkah lewat komando yang efektif, berwibawa, dan menerbitkan atmosfer pengayoman.
Menahan diri untuk tidak meneruskan agenda-agenda yang dari logika rasa sepenanggungan tidak relevan dengan kondisi bangsa saat ini, seharusnyalah tidak harus menunggu munculnya gelombang kritik. Bayangkanlah rakyat yang sedang berbalut lara di pengungsian: sampai kapan aktivitas Merapi berlangsung? Bagaimana kelak mereka harus me-recovery diri dan lingkungannya? Masih mungkinkah tempat tinggal yang menumbuhkan suasana trauma itu kembali dihuni? Lalu bagaimana solusi pilihannya?
Pengerahan potensi kepemimpinan dalam penanganan tragedi Merapi ini tampak dicoba dilakukan secara serius, antara lain lewat kehadiran Presiden. Kita berharap hal itu mampu menciptakan tradisi sikap tanggap dan cekat menghadapi kondisi-kondisi serupa. Rakyat yang sedang menghadapi musibahlah yang nanti bisa memberi penilaian karena merasakan langsung produk kinerja penanggung jawab manajemen penanganan untuk meringankan penderitaan mereka, lalu memberi jalan keluar setelah bencana berlalu.
Memberi jaminan terpenuhinya kebutuhan darurat di pengungsian, baik menyangkut kesehatan, pangan, pakaian, kenyamanan psikologis, maupun proses pemulihan setelah bencana, merupakan poin-poin prioritas. Kehadiran para pemimpin dan semua otoritas manajemen penanganan bencana pun, mestinya mampu menggerakkan atmosfer solidaritas sosial, sehingga warga yang terkena musibah merasa memiliki modal psiko-sosial untuk kembali bangkit menyongsong hari depannya dan keluarganya. (cok)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar