GAGASAN Kementerian Hukum dan HAM untuk memperberat hukuman bagi koruptor akan sia-sia, jika masyarakat kita bersikap tidak peduli dengan upaya untuk membangun bangsa ini menjadi lebih baik. Diyakini, korupsi makin tidak terkendali seiring dengan mentalitas yang makin mempersepsi korupsi sebagai hal biasa. Kekeliruan cara pandang itu pada gilirannya berkontribusi terhadap sikap pejabat yang menjadikan kejahatan korupsi sebagai alternatif atau kondisi mumpung untuk memperkaya diri.
Kondisi demikian membuat upaya penjeraan tidak efektif, apalagi ada mekanisme remisi. Jika Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menilai sistem pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya sudah baik, maka persoalan utamanya adalah mentalitas. Sebaik apa pun sistem tanpa dukungan moralitas, akan membuat regulasi tidak efektif. Orientasi hedonik para elite kekuasaan telah menciptakan cara pandang korupsi seolah-olah menjadi gaya hidup. Sementara masyarakat cenderung permisif, terkesan cuek, dan menganggap biasa.
Permisivitas itu memperlebar ruang gerak koruptor, karena kontrol publik melemah. Korupsi seolah-olah bukan kejahatan luar biasa yang memerlukan strategi khusus untuk membasminya. Kondisi itu makin diperparah oleh pikiran praktis - pragmatis, yakni asal kebutuhan hidupnya tercukupi tanpa melihat dan merenungkan proses mendapatkannya. Maraknya politik uang dalam pemilihan kepala daerah antara lain karena sikap permisif dan pola pikir praktis-pragmatis masyarakat kita yang ”bersinergi” dengan politik nir-etika dari elite kekuasaan.
Jadi siapakah yang memedulikan kepentingan lebih besar untuk membangun masa depan bangsa ini? Para pengejar kekuasaan menghalalkan segala cara, dan masyarakat dijadikan fondasi legitimasinya. Terhadap sejumlah kepala daerah yang terindikasi korupsi, keluarga, dan orang-orang dekatnya tersandung korupsi, ternyata masyarakat tetap memberikan suara untuk mereka. Ada alasan pragmatis, yang tentu mengabaikan idealita membangun kehidupan.
Pemahaman keliru mengenai kekuasaan tampaknya terus berlangsung. Kedudukan dan jabatan dimaknai sebagai anugerah besar yang harus dirayakan. Cara mencapainya pun menindih nilai-nilai kebajikan. Kedudukan dan jabatan sebagai amanah, hanya sebatas slogan tanpa pemahaman mendalam akan risiko dan konsekuensinya. Bahwa watak dasar kekuasaan cenderung memperbesar diri dan tidak pernah membatasi dirinya; kekuasaan juga cenderung selalu membenarkan diri dan tidak tidak pernah mau disalahkan.
Peningkatan status sosial sering dipahami harus berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraannya. Artinya kekuasaan termaknai sebagai kemakmuran. Maka pelaksanaan kekuasaan harus selalu berada dalam mekanisme kontrol. Supaya kontrol berjalan baik, dibutuhkan pemberdayaan kecerdasan masyarakat, dengan tidak memberi ruang permisif terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Kesimpulannya, dibutuhkan pendidikan politik yang berkarakter: antara lain berupa tanggung jawab para pemimpin untuk memberi keteladanan sikap dan perilaku. (cok/*sm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar