HARI Buruh Internasional baru saja diperingati 1 Mei pekan lalu. Peringatan tersebut berselang tidak lama dari kerusuhan pada perusahaan galangan kapal di Batam yang dipicu oleh perlakuan buruk terhadap para buruh lokal. Kasus itu, beserta kasus-kasus ketidakpuasan kalangan buruh lainnya, mestinya menjadi pelajaran untuk terus memperbaiki kondisi agar kejadian yang merugikan semua pihak tidak berulang. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta para pekerja atau buruh mencegah tindakan anarkis. Jika timbul suatu masalah, sebaiknya diselesaikan bersama manajemen.
Dari peringatan Hari Buruh Internasional tersebut ada beberapa hal yang menjadi tuntutan para buruh, terutama penghapusan sistem outsourcing atau kerja alih daya yang sekarang diterapkan oleh banyak perusahaan serta reformasi jaminan sosial berdasarkan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Nasib buruk akibat sistem itu membuat prioritas perjuangan serikat buruh di seluruh dunia kini fokus pada perlawanan terhadapnya. Kemerebakan penerapan sistem kerja kontrak di berbagai negara, termasuk Indonesia tak bisa dilepaskan dari realitas persaingan ekonomi global.
Pendapat yang mengemuka adalah, peningkatan daya saing dan produktivitas hanya mungkin tercapai apabila ada kebijakan penyesuaian atas pasar kerja yang lebih efisien dan murah. Pemikiran itu selanjutnya diterjemahkan sebagai sistem hubungan kerja yang memberi kemudahan dalam melakukan perekrutan dan pemecatan. Bank Dunia pernah mengumumkan survei tentang peringkat negara paling efisien dalam perekrutan dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Makin sedikit biaya PHK, kian bagus buat investor asing. Setelah dikritik serikat buruh dan Organisasi Buruh Internasional (ILO), survei itu lalu diralat.
Sebagai pemilik modal, banyak pengusaha mengabaikan hak-hak buruh, tidak taat hukum, tak mengedepankan dialog, dan anti terhadap serikat buruh. Di sisi lain, lapangan kerja yang terbatas menyebabkan posisi tawar buruh lemah, sehingga menjadi alat penekan. Sebaliknya, ada buruh yang ingin menang sendiri, hanya terus menuntut tanpa dilandasi nalar, serta tidak mau mengerti kesulitan yang dihadapi oleh pengusaha. Solusinya adalah mengubah paradigma. Setiap pihak harus memandang pihak lain sebagai mitra. Buruh tak dianggap sebagai alat produksi belaka, tetapi sebagai manusia.
Mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional, sudah lima tahun lebih sejak UU Nomor 40/ 2004 terbit, pemerintah tak juga melengkapi peraturan pemerintah dan peraturan presiden yang diamanatkan. Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial yang seharusnya ada sejak 20 Oktober 2009, sekarang tak jelas rimbanya. Pemerintah kian jauh meninggalkan rakyatnya. Para elite politik lebih sibuk menjaga ”kursi” ketimbang memikirkan jutaan rakyat, termasuk buruh. Mungkin ada yang berpikir, Sistem Jaminan Sosial Nasional hanya akan menguras APBN paling tidak Rp 37 triliun dan berpotensi menjadi subsidi baru.
Sehubungan dengan upaya memanusiakan para buruh, pemerintah perlu meninjau ulang sistem outsourcing yang menunjukkan gejala bakal makin diikuti oleh banyak pengusaha. Mesti ada ketentuan atau aturan yang membatasi penerapan sistem tersebut. Harus diakui, lapangan kerja memang tergolong barang langka, tetapi tidak berarti lantas menganggap tenaga kerja atau buruh hanya semacam sekrup dalam suatu proses produksi. Mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional, belum terlambat bagi pemerintah untuk segera mewujudkan sebagai bukti perhatian kepada rakyatnya.(red/*smc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar