PERORANGAN terhadap eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berlangsung melalui beragam pintu masuk. Setelah aneka manuver dikreasi oleh berbagai elemen yang berkepentingan melawan pembudayaan sikap antikorupsi, kini pendaftaran calon pimpinan KPK juga berpotensi dijadikan peluang untuk melemahkan lembaga ekstrajudisial tersebut. Salah satu indikasinya, nama-nama pengacara yang tereferensikan pernah menjadi pembela koruptor ikut mendaftar ke meja panitia seleksi.
Memang merupakan hak bagi tiap warga negara untuk ikut berkiprah dalam perang melawan korupsi. Justifikasi tentang ”siapa pun” itu juga tidak membatasi latar belakangnya. Namun kompetensi tetaplah merupakan logika utama dalam persyaratan sebagai koridor kelayakan seseorang, apalagi terkait dengan sebuah badan yang membawa beban integritas dan pencitraan tinggi seperti KPK. Logika kompetensi itu terutama menyangkut rekam jejak yang dibutuhkan untuk memberi roh dan vitalitas yang dibutuhkan.
Langkah sejumlah orang untuk mendaftar, yang dari logika kompetensi seharusnya memahami seperti apa kebutuhan KPK terhadap integritas personal dan kualitas kepemimpinannya, bagaimanapun menggambarkan betapa upaya pelemahan lembaga tersebut makin terbuka. Rentetan peristiwa sebelum ini, yang dipuncaki dengan skandal kriminalisasi pimpinan KPK lewat sebuah rekayasa hukum, mengakumulasikan beragam cara untuk menggembosi perjuangan pembudayaan sikap antikorupsi.
Benar-benar minimkah dukungan politik terhadap lembaga yang disadari menjadi harapan di tengah meredupnya pelita penegakan hukum melalui institusi-institusi reguler ini? Sejauh ini, suka atau tidak suka kita patut mengatakan ”ya”. Faktanya, pintu masuk pembonsaian itu berlangsung secara masif, baik melalui entry perundang-undangan dalam menyikapi Peradilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, disharmoni antarlembaga, serta komitmen pemerintah (legislatif dan eksekutif) yang cenderung masih ambigu.
Padahal yang dibutuhkan oleh KPK adalah dukungan total, dengan membangun penyadaran mengenai kondisi darurat korupsi. Semua itu jelas membutuhkan sikap-sikap luar biasa. Pemilihan pimpinan KPK, terutama ketuanya, sangat berpotensi diwarnai oleh berbagai kepentingan kekuatan-kekuatan politik, seperti dalam kilas balik keterpilihan Antasari Azhar yang kemudian terpuruk karena kasus pembunuhan. Pengawalan rakyatlah yang akhirnya harus diketengahkan untuk menghadapi realitas demikian itu.
Komitmen pemerintah juga akan terlihat: sejauh mana keberpihakan untuk membangun atmosfer antikorupsi. Jika pemerintah, yang juga didukung oleh kekuatan-kekuatan politik malah terjebak dalam aneka permainan pendukungnya, sehingga malah melindungi sejumlah kepentingan, tarik-ulur terhadap eksistensi KPK akan terus berlangsung. Maka sterilisasi lembaga tersebut kita harapkan dijaga sejak awal oleh panitia seleksi dengan menerapkan standar mutlak bagi logika kompetensi dan rekam jejak. (red/*smc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar