Senin, 12 Juli 2010

Kekerasan Terhadap Aktivis

REPRESI yang pernah berlangsung semasa Orde Baru ternyata belum benar-benar hilang di era keterbukaan sekarang ini. Buktinya, orang atau lembaga yang bergiat memberantas korupsi sangat mudah menjadi korban kekerasan.

Itulah yang dialami Tama Satria Langkun, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW). Ia dianiaya sekelompok orang saat subuh, pekan lalu, dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Dia cedera berat, mendapatkan 29 jahitan di kepala dan kaki. Hingga kini ia masih dirawat di rumah sakit.

Tama adalah salah satu aktivis yang melaporkan rekening perwira polisi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), beberapa waktu lalu, setelah kasus itu juga dimuat majalah Tempo yang belakangan dilempari dengan bom molotov.

Meskipun kekerasan terhadap Tama berdekatan waktunya dengan pelaporan dan insiden itu, tidak patut berprasangka, apalagi menuduh bahwa ada polisi bodoh berada di balik tindakan pengecut itu. Akan tetapi, terlalu naif juga untuk menarik kesimpulan bahwa kasus itu murni tindakan kriminal biasa terhadap seorang aktivis dari organisasi yang sangat vokal menyuarakan pemberantasan korupsi.

Sejujurnya harus diakui bahwa tidak semua orang, tidak semua kalangan, senang hatinya jika negara ini bersih dari korupsi. Bahkan, sangat kuat indikasi meningkatnya resistensi, bahkan perlawanan, terhadap pemberantasan korupsi. Dalam perspektif itulah harus dipandang upaya melumpuhkan pimpinan KPK, teror terhadap institusi pers yang gencar membongkar rekening pejabat, serta usaha pembunuhan terhadap aktivis ICW.

Sangat jelas ada serangkaian ikhtiar untuk menggemboskan gerakan pemberantasan korupsi, yang terjadi justru di tengah gencarnya suara elite mendukung tegaknya pemerintahan yang bersih. Bukan sembarang ikhtiar sebab bermaksud menghabisi nyawa aktivis.

Kekerasan terhadap para aktivis adalah kekerasan yang di masa lalu secara tipikal kerap dikaitkan dengan keterlibatan negara atau pejabat negara.

Kekerasan itu merupakan bentuk ketakutan atas terungkapnya kejahatan yang dilakukan kekuasaan. Kekerasan itu adalah upaya membungkam pencari kebenaran.

Zaman telah berubah dari era otoriter dan militerisme menjadi zaman yang terbuka, otonom, dan demokratis. Tetapi, ternyata kekerasan terhadap aktivis masih terjadi di era pemberantasan korupsi sekarang ini. Cara-cara lama itu belum hilang, sekalipun rezim Orde Baru telah tumbang.

Bila pelaku upaya pembunuhan Tama itu tidak berhasil ditangkap, itu pertanda sangat buruk bagi upaya pemberantasan korupsi. Sangat buruk karena begitu mudahnya koruptor bisa melakukan kekerasan terhadap aktivis dan begitu mudahnya lolos setelah melakukan dua kejahatan sekaligus, yakni korupsi dan kekerasan.

Negara ini diberi predikat sangat memalukan karena tergolong paling hebat di bidang korupsi. Bila hebatnya korupsi itu dibiarkan bergandengan tangan dengan hebatnya kekerasan terhadap aktivis, sempurnalah negara ini menjadi negara yang paling aib. (red/*mi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails