Selasa, 09 Februari 2010

Informasi Telah Menjadi Milik Publik

APA lagi yang sebenarnya bisa dilakukan oleh pers, ketika informasi dalam realitasnya telah menjadi milik publik ? Pada sekitar dua dekade sebelum ini, para pekerja media mungkin masih bisa berbangga bahwa ”informasi adalah kekuatan”. Namun ketika yang dibanggakan sebagai power itu telah menjadi public property, apa pula peran yang masih bisa dimainkan oleh dunia media? Yang dapat disebut sebagai kekuatan, pada akhirnya harus berupa produk kreatif dari pengelolaan apa-apa yang telah menjadi milik publik itu!

Renungan itu patut kita ungkapkan bertepatan dengan Hari Pers Nasional pada Selasa 09 Februari 2010 ini. Perkembangan teknologi media, bagaimanapun telah memengaruhi beragam dinamika dalam sikap, cara, dan kebijakan pemberitaan, sebagai konsekuensi dari pemaknaan ruang tentang ”aktualitas”. Bukankah yang sekarang berlangsung berkat dinamika teknologi dan editorial policy, sejumlah peristiwa bergerak menjadi semacam reality show? Maka suka atau tidak suka, penerimaan, filterisasi, dan persepsi publik pun ikut terpengaruh.

Kecenderungan dan arah perkembangan yang demikian, diperkuat oleh keterlibatan warga dalam jurnalisme maya, menggerakkan sikap pertanggungjawaban yang tentu berbeda dari fakta-fakta pada setidak-tidaknya satu dekade sebelumnya. Seperti apa bentuk pertanggungjawaban moral dan sosial media, seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers? Arahnya harus lebih berkonotasi ke publik. Dan, kecenderungnya, faktor kemasan pesan dalam penyampaian informasi itulah jiwanya.

Kita tahu, teknologi media telah mendorong sikap keterlibatan aktif warga dalam sejumlah kasus di republik ini, seperti skandal perseteruan kepolisian versus Komisi Pemberantasan Korupsi, kasus Prita Mulyasari, sel mewah bagi Artalyta Suryani, dan sebagainya. Dinamika itu mesti menggerakkan kebijakan editorial media untuk mengakomodasinya, mengawal, dan tentu memberi arah. Media tak lagi berhak mengklaim diri sebagai ”pemimpin” wacana publik, melainkan ”memfasilitasi” publik dalam berwacana.

Reposisi dalam penyajian pemberitaan media akan lebih mengarah pada manajemen penyediaan kanal-kanal yang tepat untuk memfasilitasi akselerasi aspirasi publik. Pada tingkat inilah, independensi sikap media harus berbasis pada parameter kesadaran untuk membangun sebesar-besarnya kemaslahatan bagi rakyat. Kesadaran itu merupakan filterisasi bagi ragam wacana publik sebagai bentuk pertanggungjawaban etika media. Maka yang dibutuhkan adalah prasyarat implementasi kematangan dalam profesionalitas dan kearifan etis.

Ideologi etika makin terasa tertatih-tatih dalam mengikuti dinamika teknologi dan sikap media. Orang meributkan perseteruan Luna Maya dengan pekerja infotainment, lalu menyoal tayangan langsung sidang-sidang Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century. Bukankah maknanya, sekencang apa pun arus informasi yang dibutuhkan publik dan difasilitasi oleh media, tetap akan berpulang pada modelnya, kemasannya, sehingga pesan-pesan di balik berita itu sampai secara efektif kepada masyarakat? (red/*cn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails