WAJAR jika para nasabah bank kini diliputi keresahan. Pasalnya, kejahatan dengan modus pembobolan rekening melalui anjungan tunai mandiri (ATM) menimpa sejumlah orang yang merupakan nasabah dari enam bank terbesar, yakni BCA, Bank Mandiri, BNI, BRI, Bank Permata, dan BII.
Ironisnya, salah seorang nasabah mengaku kehilangan Rp 145 juta melalui transaksi ATM hanya dalam waktu tidak sampai dari satu menit. Keenam bank tersebut sudah melapor ke Bank Indonesia. Diperkirakan, kejahatan itu melibatkan sindikat internasional. Dan ditengarai juga ada terlibat oknum bank itu sendiri.
Kita yakin, masih banyak nasabah lain yang belum melapor, atau belum tahu posisi rekeningnya ketika kasus ini meledak. Jadi barangkali aksi para pembobol itu sudah meruyak di berbagai kota. Setelah berbagai modus kejahatan pembobolan rekening muncul, kini para nasabah bank pasti mempertanyakan sistem pengamanan simpanannya di bank. Dalam jangka pendek ini, kepercayaan masyarakat pasti terganggu. Yang lebih penting lagi, apa yang harus segera dilakukan ke depan untuk memberi jaminan rasa aman ? Atau kita akan kembali ke jaman batu menyimpan uang di pundi-pundi celengan tanah liat atau bambu.
Kemajuan teknologi memang ibarat pedang bermata dua. Pada satu sisi, capaian-capaiannya merupakan berkah bagi umat manusia untuk mendatangkan semaksimal mungkin kemaslahatan, karena akan mempermudah dan memperingan mobilitas hidup mereka.
Namun pada sisi lain, kemadaratan juga bisa muncul, bahkan dengan capaian yang terkadang lebih cepat dibandingkan dengan yang mendatangkan kemanfaatan. Dalam konteks ini, tesis teknologi pengamanan selalu bisa diakali dengan antitesis pembobolan.
Dalam dunia hukum, perkembangan modus kejahatan itu sering bergerak bagai deret ukur ketimbang teknologi peredaman yang bagai deret hitung. Realitas itulah yang terkadang membuat kita terkaget-kaget karena tiba-tiba muncul modus baru, kreativitas yang pasti lahir sebagai ekspresi dari bias kemampuan berteknologi.
Apakah benar berjejaring internasional atau bukan, kini tema diskusi publik yang muncul dari sebuah kerisauan adalah bagaimana memberi jaminan rasa aman kepada para nasabah bank.
Kiat-kiat bertransaksi secara aman lewat ATM, kartu kredit, dan semacamnya sudah terus-menerus diberikan, namun faktanya selalu muncul kreativitas baru dalam kejahatan perbankan. Jadi ada masalah sistemik di sini. Maka maksimalisasi sistem pengamanan oleh bank, dan kemampuan aparat keamanan dalam mendeteksi percepatan dinamika cyber crime merupakan kunci yang diharapkan oleh masyarakat sebagai jaminan. Tentu saja, peran lembaga konsumen dalam mengadvokasi nasabah juga sangat membantu.
Laporan masyarakat soal pembobolan rekening, dan publikasi media mewartakan sebuah kegawatan. Kalau tidak ditangani dengan cepat, tepat, dan menuntaskan, dipastikan muncul dampak ketidakpercayaan publik terhadap keamanan uang tabungannya. Lalu sejauh mana tanggung jawab bank dalam masalah-masalah seperti ini.
Dari perspektif penegakan hukum, ini merupakan tantangan baru bagi kepolisian untuk mengungkap modus dan jaringannya, juga menciptakan atmosfer yang mampu meredam dan membuat jera. (red/*cn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar