DARI rentetan kegelapan dalam dunia hukum negeri ini, kita hanya mengingatkan untuk kembali ke satu titik: introspeksi! Ya, baik yang bersifat perseorangan maupun kelembagaan. Sumber dari segala sumber munculnya masalah adalah mentalitas tamak materi dan kekuasaan, yang mendorong orang — dengan memanfaatkan kekuatan institusinya — untuk berpikir, bertindak, dan menjustifikasi semua perilakunya. Semua bergerak menjauh dari tujuan berhukum, yakni menggali dan memancarkan rasa keadilan rakyat.
Kalau tidak ada ketamakan perseorangan, dengan berbaju kekuasaannya, akankah kemelut hukum seperti sekarang ini terjadi? Jika tidak ada kerakusan individu-individu yang bertameng lembaga, beranikah seorang Anggodo Widjojo memainkan perannya? Jika tidak melihat pemanggungan kekuasaan dengan aktor-aktor pemegang peran yang bersikap arogan, akankah rakyat merasa tersinggung, rasa keadilannya tercederai, lalu secara masif bergerak untuk memperjuangkan hak dan aspirasinya?
Titik-titik pemikiran demikian itulah yang mestinya menggiring para pemegang kekuasaan untuk mawas diri. Sudah sekian lama sebenarnya rakyat terluka oleh penyikapan dan penanganan kasus-kasus besar yang seolah-olah tidak menyentuh ”orang luar biasa”. Bahkan mandek sebagai dark number. Misalnya, apa kabar pengungkapan kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah? Bagaimana pula nasib kasus kematian wartawan Fuad Muhammad Syafruddin, juga skandal pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir?
Tiga kasus HAM itu tak jelas penuntasannya. Kita tidak membeber keseluruhan kasus yang mungkin masih tersisa, namun mengajak semua untuk merenung: perbaikan kinerja kelembagaan seperti apa yang sudah dan bakal dijaminkan kepada rakyat yang telah memberikan amanah? Kepolisian, kejaksaan, pengadilan, juga mungkin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tidak tepatlah jika ada aparat hukum yang mengatakan, banyaknya suara rakyat bukan jaminan kebenaran ketimbang sedikit suara lembaga.
Kita tetap menggarisbawahi statemen Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, janganlah mengabaikan kekuatan rakyat. Jadi kita memang butuh kearifan dalam membaca tanda-tanda. Mengapa rakyat marah? Mengapa sampai muncul distrust dan mistrust? Apakah karena opini publik yang dikemas oleh media massa, mobilisasi suara rakyat, atau apa? Apa boleh buat: karena kita tidak pernah mau berintrospeksi, karena kita tidak mau membuka topeng yang menutupi kebopengan wajah kita sendiri, wajah kita semua.
Kekuasaan selalu membutuhkan introspeksi agar tidak bergerak seperti alur tesis visioner Lord Acton, ”Power tends to corrupt, absolutely power corrupt absolutely...” Kita mudah mengucap sumpah atas nama Tuhan bahwa semua kita dedikasikan dengan ketulusan dunia-akhirat. Nurani kita sendiri mungkin miris mendengar mulut kita dengan ringan mengucap nama Tuhan. Sekali lagi, Tuan-tuan, introspeksi merupakan langkah paling bijak untuk menilai seperti apa wajah kita di balik topeng-topeng yang kita kenakan.(red/jek)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar