REZIM berganti, tetapi kemiskinan tetap komoditas seksi di Republik ini. Ia salah satu alat ukur keberhasilan perekonomian sehingga lama-lama ada kecenderungan pemerintah sebenarnya hanya hirau pada angka-angka statistik kemiskinan.
Bagaimana menurunkan angka kemiskinan di atas kertas sehingga cantik lebih menjadi kepedulian pemerintah ketimbang bagaimana menurunkan kemiskinan itu di alam nyata.
Lihat saja enam program baru prorakyat yang dikeluarkan pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan. Salah satu program itu berangan-angan memberikan rumah seharga Rp5 juta-Rp10 juta bagi orang miskin.
Program tersebut terdengar 'wah'. Ia memunculkan kesan ada empati besar pemerintah terhadap mereka yang tidur berkolong langit atau yang bertetangga dengan sampah buangan.
Namun di alam nyata, bisakah membangun rumah dengan uang segitu? Pertanyaan lain tidakkah substansi program itu sama saja dengan bantuan langsung?
Program memberikan bantuan langsung hanya menjadikan orang miskin sebagai objek penerima bantuan, tetapi tumpul menumpas kemiskinan. Buktinya pemerintah mengklaim angka kemiskinan terus turun menjadi 31,02 juta orang pada tahun lalu, tetapi jumlah penerima beras bagi rakyat miskin ternyata masih 60 juta orang atau sekitar 25% jumlah penduduk.
Ketidaksesuaian angka kemiskinan itulah antara lain disebut tokoh lintas agama sebagai kebohongan pemerintah.
Pemerintah berkukuh angka 60 juta muncul karena mereka juga menghitung masyarakat hampir miskin, sebanyak 29,38 juta jiwa, sebagai penerima beras untuk orang miskin. Tidak jelas betul pembeda antara si miskin dan si hampir miskin itu. Yang pasti, mereka sama-sama penerima beras bagi rakyat miskin.
Demikian pula kalau melihat anggaran untuk penanggulangan kemiskinan. Jika pemerintah mengklaim jumlah orang miskin turun, mengapa alokasi anggarannya justru naik? Pada 2010 anggaran untuk program-program penanggulangan kemiskinan Rp80,1 triliun, dan pada 2011 naik 7% menjadi Rp86,1 triliun.
Masih banyaknya penerima beras bagi rakyat miskin, yakni hampir 25% jumlah penduduk, dan meningkatnya anggaran penanggulangan kemiskinan sebesar 7%--lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi--menunjukkan ada yang salah dalam paradigma kebijakan pengentasan rakyat miskin.
Memberikan bantuan saja tidak akan pernah mampu mengatasi kemiskinan. Itu justru menciptakan ketergantungan. Itulah kesalahan kuno yang dilakukan pemerintahan modern. Bukankah memberi kail, bukan ikan, merupakan kearifan klasik?
Upaya memerangi kemiskinan harus dengan membongkar problem struktural dan kultural yang menjerat mereka. Pertama, tentu saja pemerintah harus mampu membuka lapangan kerja. Kedua, memberdayakan mereka yang miskin sehingga mampu menjadi warga produktif. Ketiga, menumbuhkan harga diri. Tidak hanya menyuapi mereka dengan beras bagi orang miskin.
Yang perlu digarisbawahi, kemiskinan adalah masalah sosial yang apabila terus ditumpuk bisa menjadi frustrasi sosial yang kemudian meledak menjadi kemarahan sosial.
Karena itu, jangan pemerintah puas dengan statistik yang dipercantik di atas kertas. (red/*mi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar